Sabtu, 26 Mei 2012

Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keterlibatan perempuan di kancah politik bukanlah sesuatu hal yang baru. Dalam sejarah perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam pembangunan telah banyak kemajuan dicapai terutama di bidang pendidikan, ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Dalam sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh perempuan seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dsb. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Di bidang lain ada perempuan yang berjuang untuk merebut kemerdekaan RI seperti Cut Nyak Dhien, Maria Tiahuhu, Yolanda Maramis, dsb. 
Indonesia merupakan Negara pertama di kawasan Asia-Pasifik yang membentuk kementrian khusus untuk meningkatkan peran perempuan. Berbagai kegiatan perempuan yang muncul sejak pemerintahan Orde baru baik organisasi profesi maupu ikatan kerja suami, PKK, Kowani, dll. Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan partisipasi politik perempuan yang semakin besar dan telah banyak membantu melaksankan program-program pemerintah. Berbagai jabatan politis telah dicapai seperti menjadi menteri, anggota parlemen, ketua partai, bupati, camat, lurah dll. Tetapi jika dilihat dari jumlah maupun pengaruhnya dalam perumusan kebijaksanaan nasional sangatlah kecil.
Keterlibatan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang feminis menjadi geram. Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang.
Partisipasi perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota parlemen. Partisipasi perempuan dalam pemilu legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan lebih kaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterwakilan perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai produk politik yang dibuat. 
Keterwakilan perempuan menjadi wakil rakyat adalah sebuah ikhtiar untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan dalam arena legislasi. Dengan kedudukan mereka di parlemen diharapkan kepentingan para kaum hawa dapat terwakili. Akan tetapi, partisipasi kaum wanita yang terlibat di parlemen tidak sebatas pemenuhan kuota belaka. Mereka tidak sekedar kuantitas tapi juga harus memiliki kualitas yang menunjukan kemampuan dirinya sebagai penyalur aspirasi rakyat.  Akhirnya, melihat perjuangan kaum wanita diberbagai bidang kehidupan termasuk bidang politik patut kita hargai dan hormati selama itu berada pada batas yang wajar dan tidak menyalahi aturan agama dan norma social.

1.2 Perumusan Masalah
Secara umum, makalah ini dibuat untuk memfokuskan pada kajian mengenai Partisipasi Perempuan di Parlemen, Sedangkan secara spesifiknya, makalah ini di arahkan kepada beberapa pertanyaan yang diharapkan nantinya akan memperoleh jawaban-jawaban yang konkrit berdasarkan data yang dapat di percaya sehingga akan melengkapi makalah ini.
Beberapa pertanyaan tersebut adalah :
1. Bagaimanakah partisipasi politik perempuan di Indonesia saat ini?
2. Apa yang menjadi kendala bagi kaum perempuan sehingga partisipasi mereka dalam politik jauh lebih sedikit dibanding kaum laki-laki?
3. Serta bagaimanakah upaya dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia? 

1.3 Tujuan Penelitian 
a. Ingin mempelajari lebih mendalam mengenai partispasi perempuan di parlemen serta mengetahui peran mereka dalam pembangunan politik di Indonesia.
b. Memberikan solusi untuk peningkatan partisipasi perempuan di ranah politik Indonesia.

1.4 Jenis Penelitian
Pada umumnya, penelitian kualitatif ini tidak mempergunakan angka atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri. 

1.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian studi tokoh dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan, Mengumpulkan karya-karya seorang tokoh yang akan diteliti, baik secara pribadi maupun karya bersama (antologi) mengenai topik yang sedang diteliti (sebagai data primer). Kemudian dibaca dan ditelusuri karya-karya lain yang dihasilkan tokoh tersebut, mengenai bidang lain. Sebab biasanya seorang tokoh pemikir mempunyai pemikiran yang memiliki hubungan organik antara satu dengan yang lainnya. 

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Wanita dan Partisipasi Politiknya
Mery G. Tan (1992, dalam Yulfita,1995:1 ) membedakan partisispasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas berupa keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar pada sesuatu yang menyangkut kehidupan orang banyak. 
Partisipasi politik juga mengacu pada pengertian partisipasi politik dalam arti luas. Dengan demikian meliputi keterlibatan wanita secara aktif dalam kegiatan-kegiatan usaha penyelenggaraan Negara dan pemerintahan dan memiliki akses dalam pengambilan keputusan nasional. Kiprah perempuan Indonesia di kancah politik bukanlah hal yang baru. Dalam sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia, kita mengenal tokoh-tokoh perempuan seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dsb. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Di bidang lain ada perempuan yang berjuang untuk merebut kemerdekaan RI seperti Cut Nyak Dhien, Maria Tiahuhu, Yolanda Maramis, dsb. 
Secara legal UUD 1945 tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan serta menjamin bagi warganegaranya persamaaan hak dan kewajiban di bidang politik. Pada tahun 1078 persamaan hak, tanggungjawab dan kesempatan tersebut ditekankan secara eksplisit di dalam GBHN. Kepedulian Indonesia terhadap persamaan hak ini juga tercermin dengan keikutsertaannya dalam penandatanganan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tahun 1980 dan diratifikasi tahun 1984 melalui UU 7 tahun 1984.
Indonesia merupakan Negara pertama di kawasan Asia-Pasifik yang membentuk kementrian khusus untuk meningkatkan peran perempuan. Berbagai kegiatan perempuan yang muncul sejak pemerintahan Orde baru baik organisasi profesi maupu ikatan kerja suami, PKK, Kowani, BKOW dll. Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan partisipasi politik perempuan yang semakin besar dan telah banyak membantu melaksankan program-program pemerintah. Berbagai jabatan politis telah dicapai seperti menjadi menteri, anggota parlemen, ketua partai, bupati, camat, lurah dll. Tetapi jika dilihat dari jumlah maupun pengaruhnya dalam perumusan kebijaksanaan nasional sangatlah kecil.
2.2 Kuota Perempuan di Parlemen
        Perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa. Tetapi perempuan sampai saat ini belum mendapatkan kesempatan yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang politik  dan pemerintahan. Perempuan masih dianggap kurang memiliki kemampuan untuk berperan lebih banyak dalam membuat berbagai kebijakan yang lebih baik dalam penyelenggaraan pemerintahan.Menjelang Pemilihan Umum 2009,  ada kebijakan penting terkait dengan permasalahan kuota perempuan dalam panggung politik Indonesia. Salah satu kebijakan penting itu ialah Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Pemilihan Umum merupakan kebijakan inti mengenai isu representasi politik perempuan yang di dalamnya ditegaskan mengenai kuota perempuan di parlemen. Setelah keluarnya kebijakan tersebut, perempuan diberi kesempatan untuk berperan lebih banyak di kancah politik.
        Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 53 mengamanatkan agar partai politik memuat (keterwakilan) paling sedikit 30% perempuan dalam daftar calon legislatifnya. Pasal ini diperkuat oleh pasal 55 ayat (2) yang menyatakan bahwa di dalam setiap tiga nama kandidat, setidaknya terdapat sekurang-kurangnya satu kandidat perempuan. Kebijakan kuota perempuan paling sedikit 30% dalam daftar calon legislatif juga diperkuat dengan kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan tanpa alasan yang mendasar. 
        Ada beberapa hal  yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan  perempuan dalam politik dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah tanggungjawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu. Selain itu, perlu diakui 4 kenyataan bahwa perempuan sudah terbiasa menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok – kelompok pengajian.
Alasan tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman  organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Argumen tersebut juga menunjukkan bahwa perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan, terutama di lembaga perwakilan rakyat. 
        Lahirnya kuota perempuan melalui undang-undang tersebut sebenarnya menjadi berita baik bagi kaum perempuan.  Secara tekstual, undang-undang tersebut memang baru mengakui adanya kebutuhan untuk melibatkan perempuan dalam partai politik sebagai upaya agar perempuan dapat memperoleh akses yang lebih luas dalam pengambilan keputusan. Pesan  semacam itu tidak terdapat dalam regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Apabila dicermati secara lebih mendalam, terutama dalam undang-undang partai politik, kebijakan kuota perempuan ini sebenarnya sangat lemah. Hal itu tercermin dari  tidak adanya penekanan secara eksplisit  tentang keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan partai. Maka dari itu tidak ada jaminan bahwa penyertaan 30% perempuan di dalam keanggotaan partai politik akan secara otomatis mengubah paradigma partai untuk berpihak kepada perempuan. Ketidaktegasan aturan dalam undang-undang tersebut juga menyebabkan angka 30% menjadi angka yang meragukan untuk dapat terwujud.

2.3  Kendala-Kendala Partisipasi Politik Perempuan
Untuk dapat terlibat dalam segala aspek kegiatan politik bagi perempuan tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik perempuan, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal berupa keengganan besar perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan soso-kultural mereka yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakna dan menyampaikan keinginan serta aspirasinya di bidang politik. Aktivitas dianggap tidak layak bagi perempuan, karena sifat-sifatnya yang jauh dari citra perempuan. Dunia politik di naggap “keras”, “kotor”, dan penuh dengan muslihat sehingga dianggap tidak cocok untuk citra perempuan.
Lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan, antara lain wawasan orangtua, adat, penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat, tingkat pendapatan keluarga, dan system penddidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya akses wanita pada penguasaan factor social ekonomi menyebabkan terbentuknya image dalam diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria.
Kendala eksternal menurut Afan Gaffar antara lain dari birokrasi yang paternalistic, pola pembangunan ekonomi dan politik yang kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik.  Kendala pokok lemahnya partisipasi politik perempuan antara lain berada pada lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan. Selain itu dapat pula bersumber dari kebijaksanaan pembangunan politik yang kurang memadai serta kurang berfungsinya partai politik. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat diupayakan antara lain dengan melalui pendidikan politik yang mampu menciptakan kemampuan dan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di bidang politik.
Dalam hal ini memang tidak terlepas dari keberadaan laki-laki yang secara luas mendominasi arena politik, laki-laki sangat dominan dalam memformulasikan aturan-aturan permainan politik; dan laki-laki lah yang sering mendefinisikan standar untuk evaluasi. Lebih jauh, kehidupan politik sering diatur sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai laki-laki, dan dalam beberapa kasus, bahkan menurut gaya hidup laki-laki. Sebagai contoh, model politik didasarkan pada ide “pemenang dan pecundang”, kompetisi dan konfrontasi, bukan atas dasar saling menghormati, kolaborasi dan penciptaan konsensus. Lingkungan ini sering bertentangan dengan perempuan. Keberadaan dari model yang didominasi laki-laki ini menyebabkan perempuan menolak politik secara keseluruhan atau menolak politik gaya laki-laki. Jadi, ketika perempuan berpartisipasi dalam politik, mereka cenderung melakukannya dalam jumlah kecil.
Di antara kendala-kendala politik yang dihadapi perempuan, yang utama adalah:
Kelaziman “model maskulin” mengenai kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan hasil pemilihan.
Kurangnya dukungan partai, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan; terbatasnya akses untuk jaringan politik, dan meratanya standar ganda.
Kurangnya hubungan dan kerja sama dengan organisasi publik lainnya, seperti serikat dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan.
Tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang dibangun dengan baik, baik bagi kepemimpinan perempuan pada umumnya, maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik khususnya.
Hakikat sistem pemilihan, yang barangkali atau tidak mungkin menguntungkan bagi kandidat perempuan. 


2.4 Upaya Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan
Dalam upaya peningkatan perempuan di bidang politik perlu pemahaman dan analisis secara menyeluruh sehingga dihasilkan suatu rekomendasi kebijkasanaan yang tepat. Bebeapa peluang bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas perannya dibidang politik antara lain:
1. Pasal 17 dan 21 UUD 1945
2. GBHN yang sejak tahun 1978
3. Konferensi-konferensi perempuan sedunia
Peluang-peluang yang mendukung tersebut, memang pada akhirnya akan dikembalikan kepada perempuan  untuk memanaatkannya atau tidak. Namun bila mengingat besarnya potensi yang ada pada perempuan Indonesia yang secara kuantitas lebih besar daripada pria, maka sewajarnyalah bila  peluang dan potensi tersebut tidak disia-siakan.
Perempuan dalam pengembangan kiprahnya sebagai warganegara mempunyai harapan sebagai pemilik masa depan bangsa yang secara fungsional mampu menempatkan diri sebagai tenaga pembaharu, dinamisator dan katalisator untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu perempuan dalam menghadapi tantangan globalisasi harus membekali dirinya dengan ilmu, teknologi dan berbagai macam kemampuan dan keterampilan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsanya.
Upaya untuk mengentaskan ketidakberdayaan perempuan yang berkaitan dengan kualitas perannya dibidang politik, yang pertama adalah menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di pentas politik untuk mangaktualisasikan kemampuannya. Hal tersebut tidak hanya selaras dengan tujuan pembangunan nasional, tetapi juga karena jumlah perempuan adalah separuh dari jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu,  sangatlah wajar bila ada wakil yang dapat menyuarakan aspirasi politik mereka.
Peran perempuan Indonesia di pentas politik sudah waktunya mendapat porsi yang proporsional. Seyogyanya tidak ada lagi ucapan yang meragukan kemampuannya untuk tampil di pentas politik. Oleh karena itulah harus adanya gerakan yang mendorong untuk terwujudnya kebijakan pemerintah yang memiliki kepekaan gender. 
Untuk membicarakan upaya memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia kita harus menempatkannya di dalam konteks transisi yang tengah dialami bangsa Indonesia menuju ke sistem politik yang lebih demokratis. Inti demokrasi adalah upaya menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga, tak terkecuali kelompok marjinal dan kaum minoritas. Meskipun secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan, mereka tak lebih dari mayoritas bisu kelompok besar yang termarjinalisasi secara politis, sosial, kultural dan ekonomis yang hampir selalu absen pada proses-proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, representasi perempuan di DPR mengalami penurunan dari 12% pada tahun 1992 menjadi 9,2% pada tahun 1999. 
Keadaan ini mengakibatkan terjadinya pengesahan dan penerapan berbagai produk hukum (UU dan peraturan) dan penetapan prioritas program-progam pembangunan di tingkat nasional dan lokal yang sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan politik, keadilan sosial, maupun kepentingan kaum perempuan. Dua isu penting yang dibahas pada Konferensi PBB tentang Perempuan di Beijing, tahun 1995, adalah perlunya meningkatkan jumlah kaum perempuan di dunia politik serta memperkokoh basis kekuatan mereka. Partisipasi aktif pemerintah Indonesia dalam konferensi itu ditindaklanjuti dengan digelarnya berbagai lokakarya, seminar, dan konferensi oleh perempuan anggota parpol dan parlemen yang disponsori oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita.
Semua kegiatan itu dimaksudkan untuk memperkokoh jaringan aktivis perempuan serta melobi lembaga-lembaga terkait agar memasukkan isu jender dan kuota perempuan dalam proses-proses legislatif. Meningkatnya partisipasi politik perempuan baik di tingkat lokal maupun nasional akan berpengaruh pada karakter demokrasi Indonesia bagi seluruh warga negara. Memperkuat partisipasi politik, berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja dan keberhasilan perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik.
Isu pemberdayaan perempuan sebenarnya belum mendapat porsi dan kedudukan yang sebanding dengan diskusi mengenai peningkatan jumlah perempuan di parlemen. Akan tetapi, diskusi-diskusi yang digelar selama konferensi nasional dan lokakarya regional sudah maju selangkah dalam meningkatkan kesadaran ke arah itu.


BAB III
KESIMPULAN
Perempuan pada hakikatnya merupakan seseorang yang mahir untuk berkiprah dalam urusan rumah tangga tapi kini profesi tersebut seakan terlupakan eksistensi mereka dalam berperan di level negara. Keterlibatan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi sosio-kultur maupun perkembangan zaman. 
Partisipasi perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota parlemen. Partisipasi perempuan dalam pemilu legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan lebih kaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterwakilan perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai produk politik yang dibuat.
Keterwakilan perempuan menjadi wakil rakyat adalah sebuah ikhtiar untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan dalam arena legislasi. Dengan kedudukan mereka di parlemen diharapkan kepentingan para kaum hawa dapat terwakili. Akan tetapi, partisipasi kaum wanita yang terlibat di parlemen tidak sebatas pemenuhan kuota belaka. Mereka tidak sekedar kuantitas tapi juga harus memiliki kualitas yang menunjukan kemampuan dirinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Partai politik sebagai industri yang mencetak kader-kadernya untuk menjadi pemimpin, harus melakukan pendidikan politik sejak dini kepada para perempuan sebelum mereka dipercaya untuk menjadi seorang legislator. Akhirnya, melihat perjuangan kaum wanita diberbagai bidang kehidupan termasuk bidang politik patut kita hargai dan hormati selama itu berada pada batas yang wajar dan tidak menyalahi aturan agama dan norma social.




DAFTAR PUSTAKA
Bruce A. Chodwick, Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk), Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press, 1991.
Cakrawala Pendidikan,”Parisipasi Politik dalam Upaya Peningkatan Partisipasi Politik Wanita”, 1997.
Gaffar,Afan, “Partisipasi Politik di Indonesia,” vol:3
Francisia Sse Seda, “Politik Perempuan: Bukan Jumlah Semata,”
Keaggotaan Wanita di MPR 1971-1992 (Lembaga Pemilihan Umum 1992).
M.Darwin,Muhadjir,”Negara dan Perempuan,” Yogyakarta:2005.
Nadezhda Shvedova.”Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen,”
http://pecintapena.wordpress.com/2011/06/04/peran-perempuan-di-parlemen/
http://koran.republika.co.id/koran/0/149913/mendorong-partisipasi-perempuan/






2 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.